Oleh: Marisa Agustina
Sumber: http://makassarevent.com/ |
Salah satu cara efektif mengikat ilmu adalah dengan
menuliskannya. Oke. Mari menuliskannya... *keretekin keyboard*
Saya terpilih untuk menjadi peserta Dee’s Coaching
Clinic Makassar pekan lalu. Kata Dee, kami ini adalah kelinci percobaan,
semacam objek riset bagi proyek nulis nonfiksi beliau. Sebuah karya yang isinya
tentang tips menulis ala Dee. Whatever it is, I feel so lucky. Memperoleh
kesempatan untuk DIDATANGI dan mendengarkan seorang penulis sekelas Dee membeberkan
rahasia dapurnya, itu sungguh wow buatku. Belum lagi nanti boleh nanya-nanya,
yeaay!
Dee datang dengan mengenakan stelan rok panjang yang
manis plus tank top yang dipadu blazer rajut panjang. Ia memilih gradasi warna
putih gading dan krem hari itu untuk busananya. Sweet-sexy, I had to admit,
semoga peserta cowoks pada ngga salah fokus hihihi. Dia muncul mengejutkan kami
dari belakang susunan kursi. Well, sebagai informasi Dee pagi itu baru saja
mendarat dari Jakarta dan tiba di lokasi langsung mengisi acara. Cool, ya?
Tanpa membuang waktu, begitu MC menyerahkan acara
padanya, Dee pun langsung to the point memberikan coachingnya. Dee memilih
topik ide/inspirasi sebagai pokok pembahasan pertama. Sesuai pengakuannya,
hidup itu sendiri adalah inspirasi terbesarnya dalam menulis. Ia juga
mengatakan bahwa sebagai penulis ia hanya akan menulis sesuatu yang ia ingin
baca. Sepertinya Dee hendak mengatakan kau takkan bisa menyetir apa yang harus
kutulis, oke!
Kalau mengenai teori menulis, Dee mengakui ia tidak pernah
secara spesifik menggunakan teori. Menulis ya menulis saja. Eh, kok kita sama
ya, Dee? Bahkan soal kerangka, baru belakangan ketika ia menulis novel yang
lebih panjang halamannya barulah ia merasa perlu membuatnya. Ia membahasakannya
sebagai ‘Pemetaan Cerita’. Dee menganalogikan dengan kau hendak mencapai pulau
B dari pulau A. Untuk mengarungi samudera yang ada ditengahnya maka kau akan
memerlukan bantuan pulau-pulau kecil sepanjang perjalanan. Semacam itulah.
Satu hal yang menarik adalah bagaimana Dee
mempersonifikasi ide. Begitulah cara ia berteman dengan ide, memperlakukan
mereka seperti sesuatu yang hidup. Dan agar para ide itu mau datang dan
mengajak serta teman-temannya untuk menyerbumu, ada 3 hal yang menurutnya akan
membuatnya terjadi.
Ide akan datang pada orang-orang yang berpikir
kreatif. Orang-orang yang berpikir di luar kesadaran dirinya, dengan cara
bersedia memperluas medan kesadaran diri. Untuk menjelaskan soal ini, Dee
meminta kami langsung praktek. Ia lalu mengambil sebuah pot berisi pohon
anggrek kecil dan meminta siapa pun dari kami untuk coba memandang objek di
tangannya dengan cara yang kreatif lalu menceritakannya. Dan kau tahu, ehm, aku
langsung mengambil kesempatan itu. Dengan tangan gemetaran aku mengambil
mikrofon yang disodorkan Dee padaku. Oh my God, nekatku!
Ide akan datang pada orang-orang yang peka, seorang
yang senang mengamati. Cukup jelas ini ya, tak usah saya rewrite.
Ide akan datang pada orang-orang yang disiplin.
Orang-orang yang memang punya plan untuk mengolah ide, punya target, punya
tenggat waktu. Bukan sekadar punya wish to be a writer. Oke noted that, PLAN vs
WISH, ya!
Satu hal yang saya suka selama berlangsungnya
coaching, saya merasa Dee paling banyak melakukan kontak mata denganku. Uhuk,
uhuk! Sampai-sampai saya sempat merasa coaching hanya milik kami berdua. *nih
nyodorin kresek* Tapi memang sih, secara mental saya emang benar-benar sudah
menyiapkan diri untuk acara itu. Saya mendedikasikan diri saya menjadi sebuah sponge yang siap menyerap semua ilmu
yang akan ia berikan. Saya bahkan sengaja skip
kompetisi live tweet yang berhadiah cukup menggiurkan, yaitu lunch bareng Dee.
Well, biarlah ... yang penting saya bisa fokus menyimak seluruh penyampaiannya.
Menatapnya langsung di mata. Dan sepertinya energi motivasi itu sampai padanya
sehingga membuat ia pun betah melakukan kontak mata denganku selama hampir
seluruh sesi.
Hahahaha... kemudian digetok peserta lain.
Di sesi pertanyaan, begitu mikrofon ada di tangan
saya, saya pun tidak menyia-nyiakannya untuk segera mencereweti Dee. Salah satu
pertanyaan saya adalah soal ending. Saya menanyakan bagaimana membuat ending
yang baik. Apakah harus tidak terduga atau bagaimana? Dan ternyata saya
mendapati bahwa Dee rupanya bukan penganut paham ending seperti itu. Secara
pribadi, ia adalah penyuka happy ending. Dan baginya yang jauh lebih penting
adalah bagaimana ia bisa mengikat pembaca dengan jalan ceritanya sedari mula
hingga sepanjang perjalanan. Sehingga kelak ending ‘hanyalah’ sebagai
penyelesaian dari kisah. Tak peduli ia tertebak, atau bahkan seperti itulah
yang diinginkan pembaca. Ia pun mencontohkan dengan membayangkan dirinya
membaca ratusan halaman novel kisah cinta, ia akan lebih menginginkan akhir
yang bahagia ketimbang tokohnya mati semua, misalnya.
Sedangkan menurutnya ending yang sulit ditebak lebih
cocok untuk cerita yang bergenre misteri dan semacamnya. Oke. I kinda agree
with you, Dee. Maksudku, aku juga pecinta happy ending untuk novel. Yaah,
semacam hidupku sendiri sudah terlalu rumit, saya nggak ingin dong membaca
novel pun saya jadi mumet hihi #curcoldetected. Harry
potter, tentu saya akan marah besar jika ternyata Harry mati di ujung cerita
(sedangkan Dumbledore mati pun sampai kini saya masih ingin protes sama
penulisnya hehe). Twilight, tentu saja saya ingin Bella dan si vampir hidup
bahagia selamanya. Superman, tentu saya ingin ia selalu menang melawan semua
musuh-musuhnya. The Maze Runner, saya belum baca serial ketiganya, awas aja
kalau Tom ngga berhasil menguak dan memenangi segala percobaan tidak masuk akal
yang ditimpakan pada dirinya! Seperti itulah.
Apalagi, ya? Ya masih banyak sih yang dibahas
sebenarnya, mungkin kalau mau dapat ilmu utuhnya boleh ditunggu bukunya kelak
terbit. Alesan banget sih ini, bilang saja cape ngetik wkwk.
Oh, iya, satu hal yang cukup membuat saya terpana
adalah ketika Dee mengatakan bahwa ia melafalkan seluruh manuskrip novelnya
sebelum diajukan untuk dicetak. Dibaca keras-keras. Kamu nggak kaget? Oke, saya
sih kaget pake banget. Kalau dia bilang coba lafalkan dialog-dialog dalam
tulisanmu, oke itu sih biasa. Tapi membaca keseluruhannya. Nggak peduli suara
kamu bakal serak kek, tuturnya sambil nyengir. Well, setidaknya ini memberi
banyak petunjuk buat saya, kenapa karya Dee itu enak dibaca. Bercerita banget.
Setidaknya Madre dan Gelombang yang masih saya ingat =p
Yah, demikianlah kira-kira. Lebih dan kurangnya mohon
dimaafkan ya. Keep writing, buat yang punya PLAN to write. Buat yang masih
wish-wish doang, yuk toyor pala ndiri bareng-bareng
Keep writing. Terus semangat nulis. ^^/
BalasHapusAseg dpet ilmu lg...
BalasHapusMakasi y mak niar..
Mau nyobak dipraktekin ah