Mengambil Jeda, Merajut Benang Cahaya


Setiap manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing, begitupula dengan sebuah tulisan, dan saya selalu memercayai itu.

Merajut Benang Cahaya adalah buku pertama saya yang terbit secara nasional. Jika melihat buku sederhana bersampul warna favorit saya itu, maka kebanyakan orang mungkin akan melihatnya selayaknya buku-buku lainnya. Tapi tentu tidak bagi saya. Setiap tulisan –dalam bentuk apapun ia kemudian terpublikasikan, selalu menyimpan cerita tersendiri bahkan memiliki perjalanannya masing-masing. Izinkan saya menceritakan berbagai hal yang harus dilewati oleh Merajut Benang Cahaya, hingga akhirnya tertakdir untuk terlahir (kembali)!

Ini bermula dari kesenangan saya menulis di blog yang sepi pengunjung, sejak kelas dua SMA. Saat itu, saya bergabung dalam kepengurusan sebuah organisasi jurnalistik bernama Jenius03. Di kelas tiga, sesuai dengan peraturan organisasi, saya pun resmi menjadi alumni Jenius dan tentunya kehilangan kesempatan untuk tetap menulis di majalah ataupun mading –meski sebelum LPJ, sebagai redaktur pelaksana, saya mencoba mengamankan eksistensi dengan membuat rubrik yang khusus diisi oleh alumni *hehehe...*

Setelah tidak lagi intens menulis untuk Jenius, blog pun menjadi ‘pelarian’ yang menyenangkan untuk menyelamatkan isi kepala saya. Tentu saat itu perkembangan media sosial belum seheboh sekarang. Maka saya pun terus menulis meski tahu tidak ada yang membacanya.

Aktivitas itu terus berlanjut hingga akhirnya saya ternyata berhasil mengumpulkan sejumlah tulisan. Beberapa kawan menyarankan saya untuk mencoba menulis buku atau membukukan isi blog tersebut. Saya berada di akhir masa kuliah S1 saat itu, saat kemudian menemukan sebuah cara praktis untuk menerbitkan buku; penerbit independent.

Dalam segala ke-hectic-an pengerjaan penelitian, saya berazzam di dalam diri bahwa akan memulai proses penyusunan buku ketika skripsi saya sudah rampung. Ini dalam rangka memberikan motivasi pada diri agar bersemangat menggarap tugas akhir dan juga agar konsentrasi saya tidak terpecah. Tapi faktanya, saya tidak bisa menunggu. Akhirnya, manuskrip buku itu pun rampung duluan sebelum saya menyelesaikan penelitian, lalu terbit sekitar empat puluh hari kemudian. ‘Anak pertama’ saya lahir pada Desember yang lembab oleh hujan pada 2012, ia saya panggil; Jeda Sejenak.

Jeda Sejenak adalah kumpulan tulisan renungan yang berisi esai dan puisi yang saya comot dari kedua blog saya. Meski terbit indie, saya bersyukur sebab beberapa kawan berbaik hati untuk membelinya dan ikut heboh memasarkannya. Saya bahkan sempat beberapa kali memperbincangkan Jeda Sejenak dalam forum-forum semi-formal. Saya naik turun angkot mengantarkan pesanan buku dan melobi toko buku untuk berkenan memajang Jeda Sejenak di tempat mereka. Hingga alhamdulillah, Jeda Sejenak sempat bertengger di jajaran bestseller versi penerbitnya, Leutikaprio.

Dalam perkembangan selanjutnya, ide baru tentang buku ini kemudian muncul dari beberapa kawan yang membacanya. Mereka menyarankan kepada saya untuk mencoba menawarkan Jeda Sejenak pada penerbit yang lebih besar, sehingga bisa terbit secara nasional. Masuk akal. Saya pun mulai melakukan revisi di sana-sini, dan mengirimkannya kepada penerbit lainnya, setelah sebelumnya mengonfirmasi pihak Leutikaprio tentang kemungkinan dari hal tersebut.

Saban hari saya menunggu e-mail dari penerbit, berharap pengajuan naskah saya diterima. Apakah mudah? Tentu tidak. Naskah saya ditolak oleh beberapa penerbit dengan berbagai alasan. Saya bersyukur bahwa penolakan itu tidak pernah membuat saya menyerah, namun justru semakin bersemangat untuk terus melakukan revisi pada naskah itu. Setiap ditolak, maka saya revisi lagi. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Penambahan dan pengurangan tulisan pun saya lakukan, hingga pada kesempatan terakhir, saya sadar; Jeda Sejenak telah bertransformasi menjadi bentuk yang lain.

Dan setiap penantian memang akan menemui ujungnya. Selayaknya yang saya yakini, setiap tulisan memang memiliki takdirnya sendiri. Mungkin ada yang berjodoh dengan media cetak, media online, atau mungkin memang hanya untuk dibaca di blog atau bahkan di laptop sendiri. Jeda Sejenak sendiri, ternyata tertakdir untuk dibaca oleh lebih banyak orang, dan menyebar ke berbagai tempat yang mungkin tidak akan pernah saya injak seumur hidup.

Penerbit terakhir yang menjadi pelabuhan final naskah itu adalah Bhuana Ilmu Populer yang kemudian menerbitkannya lewat lini penerbit bergenre agama Islam; Qibla. Dan proses berikutnya pun tidak kalah panjang, sekitar sembilan bulan lamanya sejak naskah disetujui, melewati proses pengurusan kontrak penerbitan, editing, desain cover dan layout, proof reading, mengantri untuk naik cetak, hingga akhirnya naik cetak dan kemudian didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Atas permintaan editor pula, saya diminta memberikan opsi judul yang lain, hingga tercetuslah nama baru untuk buku ini; Merajut Benang Cahaya.

Meski sebelumnya telah ikut dalam beberapa proyek antologi yang juga terbit nasional lewat penerbit mayor, namun ternyata tetap berbeda sensasinya memiliki buku solo yang bisa nangkring di toko buku seluruh Indonesia. Selepas menyelesaikan studi di kampus, beberapa teman terpencar-pencar ke berbagai daerah. Itu pula yang terjadi pada teman-teman semasa sekolah dulu. Dan satu hal yang saya syukuri adalah, saya masih bisa tetap menyapa mereka, di manapun mereka berada, lewat buku ini. Beberapa dari mereka dengan kebaikan hatinya bahkan berkenan memotret penampakan Merajut Benang Cahaya di saat nangkring di toko-toko buku di daerah mereka. Saya selalu merasakan kehangatan saat melihat foto-foto itu.

Dan meski saat ini di belakang nama saya telah mengekor dua titel yang berbau dunia kesehatan, nyatanya, saat menjenguk masa lalu, saya selalu dapat mengingat betapa sejak kecil saya selalu menulis satu kata di kolom cita-cita saat menulis biodata; penulis.

Maka saat ternyata mimpi masa kecil itu terwujud, rasanya saya ingin menggandeng tangan seorang bocah yang dulu selalu menyisihkan uang jajannya untuk membeli kertas dan pensil, untuk menulis cerita-cerita imajinatifnya sendiri. Bocah itu selalu mengagumi toko buku dan jejeran buku-buku yang selalu terlihat keren di matanya. Bocah perempuan itu adalah Diena Rifa’ah, bertahun-tahun yang lalu, yang kini dapat melihat cita-citanya menjadi nyata. Mimpi yang terwujud itu berbentuk kumpulan lembaran kertas berisi tulisan-tulisannya yang sederhana, dalam warna biru yang selalu ia cinta, dan di bagian depannya tertulis dengan indah; Merajut Benang Cahaya. 

0 komentar:

Posting Komentar