Tulisan ini berhubungan dengan [Sabtu Berbagi] tanggal
8 November lalu (Sabtu kedua, dengan tema Seputar Menulis, materinya bisa dibaca di sini). Merupakan
tanya/tanggap (T) – jawab (J) antara anggota IIDN Makassar dengan saya
(Mugniar) – penulis materi [Sabtu
Berbagi] Beranilah dan Rasakan Sensasinya. Berikut tanya – jawab yang
sebenarnya lebih tepat disebut diskusi ini berlangsung secara online di grup FB
IIDN Makassar.
T: Andi
Bunga Tongeng Komentar
saya: saya suka dengan tulisan ini, tulisan yang mengajak semua orang untuk berani mencoba, bahkan untuk hal yang mungkin belum pernah terpikir
sebelumnya. Sayangnya menjelang paragraf
akhir, saya menemukan lagi kalimat yang nampaknya hampir senada dgn
status Niar yang
pernah saya baca, yaitu kalimat: Saya HANYAlah
seorang emak beranak 3 yang
nekad. Penekanan-penekanan
seperti ini hendaknya dihindari. Saya menangkapnya, Niar slalu
mengiyakan pendapat-pendapat
orang
bahwa yang bekerjalah, yang punya
jabatanlah, yang
"bukan orang
biasa". Mengapa tidak digantikan dengan kalimat: Sebagai seorang ibu rumah
tangga biasa yang beranak tiga, saya menganggap diri saya nekad. Menurut saya, orang takkan pernah
memberi penghargaan lebih pada ibu yang memilih tidak bekerja di luar, jika
si ibu sendiri terlalu sering menunjukkan dirinya sebagai orang yang posisinya tidak setara dengan ibu lain yang kebetulan memilih bekerja.
Intinya: bisakah kata HANYA pada kalimat yang tadi saya bahas, dihilangkan atau
diubah redaksi kalimatnya.
T: Marisa
Agustina Eh tp setelah saya baca, kayaknya konteksnya beda,
Kak Bunga. Di sini Kak Niar memakai kalimat itu dengan
rujukan ilmu padi, “merendah
untuk meningkatkan mutu”.
Sumber gambar: www.engine2diet.com |
J:
Saya
setuju dengan yang dikatakan Marisa Agustina. Untuk saya pribadi, bagaimana perasaan saya ketika
menuliskan seperti itu saya memaknainya. Dan apa yang saya mau sampaikan
sebenarnya ditangkap dengan baik oleh Marisa .... (walaupun saat itu saya
memang belum ada apa-apanya
dibanding pak Khrisna Pabhicara).
Itu semacam gaya bertutur saja, perasaan saya tidak berbicara di
situ.
Andi
Bunga Tongeng: Marisa Agustina: merendah meningkatkan mutu?
hehehe. iyya sih. Cuma saya mengaitkan dengan tulisan lain (status FB)nya,
sehingga mengomentarinya seperti itu. Niar pernah menuliskan kesulitannya
menjawab jika ditanya tentang pekerjaannya dan bagaimana ada
rasa tidak pede. Menurut saya, untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut,
Niar harus berani menuliskan sesuatu yang jika harus menggambarkan tentang
dirinya, WAJIB tanpa menempatkan dirinya pada posisi ibu yang tidak setara
dengan ibu bekerja.
Saya
suka bertemu dengan perempuan-perempuan
yang bicara dengan pede dan santai sambil tersenyum,
"saya ibu rumah tangga", daripada ekspresi agak sungkan sambil
berkata "saya HANYA ibu rumah tangga".
J: Memang
akan ada yang menangkap persis apa yang saya sampaikan (dengan yang saya
maksud) dengan ada yang tidak menangkapnya dengan sama persis. Karena Bunga mengingat status-status saya yang dulu jadi Bunga menangkap kesan bahwa tdak move on - move on juga. Percayalah, itu hanya "gaya
bertutur" saja. Saya
kira saya tidak perlu mengubah apa-apa dari sana karena suer ... perasaan saya saat menulisnya tidak seperti yang Bunga kira.
T: Diena
Rifa'ah:
untuk ikut-ikut lomba dengan beragam tema memang perlu
keberanian dan kekuatan menyingkirkan rasa malas untuk mulai belajar sesuatu
yang baru ya. Bahkan
dalam menulis pun kita harus berani keluar dari zona nyaman dengan tema-tema yang hanya kita suka saja. Nah, itu kayaknya yang saya pribadi masih perlu banyak
belajar dari kak niar. Bagaimanapun,konten
tulisan merupakan hal penting yang menentukan bobot tulisan kita dan untuk bisa menuju ke sana, perlu
keberanian untuk belajar.
Kak
Niar,
sharing dong bagaimana cara menumbuhkan keberanian itu.
Kadang saya suka keder sendiri karena menganggap diri
kurang bisa menguasai tema tertentu.
J: Diena:
memang mesti berani mencoba. Kenyataannya penulis senior sekalipun atau blogger
kondang sekalipun, ketika mengikuti lomba tidak selalu dalam keadaan
terbaiknya, tidak selalu menulis dengan teramat baik walau ya ... rata-rata memang mereka menulis dengan baik.
jadi sebenarnya siapapun berpeluang untuk menang.
Dan .... menariknya lomba-lomba itu ... seperti sebuah seni, tidak
selalu eksak/sama. Tiap juri punya standar sendiri mengenai mana yang bagus/dia
sukai dan yang tidak. Dan itu bisa berbeda antara juri yang satu dengan yang
lainnya meskipun mereka punya pokok-pokok penilaian (yang jenisnya sama). Jadi, kenapa tidak dicoba? Tidak
ada ruginya, lho
mencoba. Karena mencoba satu kali, kita berarti sudah belajar satu kali. Kalah
pun tidak jadi masalah
karena kita sudah punya poin pembelajaran. Dan itu penting karena pembelajaran
itu sebuah proses. Jam
terbang seseorang mempengaruhi keahliannya. Semakin sering mencoba, semakin
sering kita terasah.
Dan efeknya buat saya, semakin sering
saya kalah ... semakin sering saya move on dan bangkit lagi untuk mencoba lomba-lomba yang baru. Tapi memang kita harus nyaman
dengan temanya. Kalau tidak nyaman ya jangan dipaksa.
T: Sri
Muliana Walau sedikit... Sensasinya pernah juga saya rasakan. Menang lomba walau skala giveaway blog, rasanya gimana gitu. Tak terkatakan untuk orang
yang waktu itu baru belajar nulis. Beberapa buku, baju kaos, selembar kain
mungkin nilainya tidak seberapa tapi melihat nama kita ada di deretan pemenang
rasanya sesuatu dan
cukup memotivasi kita buat menulis waktu itu. Proses
mencari ide sampai menjadi sebuah tulisan, ada kepuasan tersendiri. Tapi
sekarang, kembali
menjadi seperti dulu ...
Susahnya membuat satu tulisan...
J: Sri Muliana: ayooo tinggal dimulai lagi
langkah-langkah
yang pernah dilakukan
T: Aliyah
Naura:
Ketinggalan saya,kalau ikut lomba masa SMA dulu itu pun antar sekolah,tidak ada bakat
menulis tapi alhamdulilah kalau bikin puisi/karangan biasa
juga menang di
kampung
J: Aliyah
Naura:
tidak
perlu bakat … yang penting kemauan kuat
T: Ida
Basarang Merasakan sensasi menang itu betul-betul luar biasa, Kak. Kuis buku
Kakak ADSLSK yang berhadiah pulsa itu sama kuisnya kak Abby Onety benar-benar bikin pede meroket. Bisanya saya cuma biasa saja melihat Nahlatul Azhar dulu kalau menang pulsa. Tapi setelah saya yang dapat baru saya sadari pantasan Nahla segitu bahagianya. Biasanya asal saja kalau ikut kuis, tapi pas kuis buku kak Mugniar, saya sampai baca dulu referensi perjuangan Khadijah.
Berarti untuk mendapatkan sesuatu yang lebih harus dengan usaha yang lebih juga.
J: Kira-kira begitu, Ida ....
tapi tetap niat menulis yang "lebih" juga, maksudnya yang setulus
mungkin ... misalnya untuk ibadah, untuk menebar kebaikan ... dan lain-lain
T: Abby
Onety Tulisan Bu Mugniar di atas, saya melihatnya sebagai sosok yang low profile. Banyak sekali prestasi yang
telah di raih tapi itu tidak ditonjolkan malah
merendah layaknya seorang yang
baru belajar nulis. Padahal, melihat tulisan-tulisan bu Niar saya kok jadi minder. Saya yang bekerja di kantor bahkan tanggung
jawab dirumah pun boleh di kata belum ada tapi masih saja kekurangan waktu buat menulis.
Jadi bu Niar
jangan lagi merendah dong. Jadi malu
kita-kita
ini hehee. Karena malu,
ada sisi positif yang
bisa saya ambil. Yaitu malu kalau tidak segera menulis. Oh ya ... satu lagi. Kenapa ya kalau saya menulis karya tulis ilmiah bersama siswa rasanya lancar saja. Tapi saya melihat beberapa tulisan di blog kalau isinya KTI (karya tulis ilmiah) membosankan untuk di baca. Kaku, menjenuhkan. Saya biasa menghilang dari blog itu. Tapi kalau baca blog yang bahasanya santai, enak tinggal berlama lama
di blog itu. Ternyata merangkai kata yg santai itu sulit yah.
J: Waah bu
guru Abby Onety merendah
padahal tulisannya sebenarnya sudah teramat santai. Seperti yang catatan perjalanan itu
... keren. Cuma tinggal dipoles sedikit supaya lebih luwes. Yang tulisan waktu hadir di
kegiatan Gemar Membaca itu juga sudah bagus .... tinggal dibiasakan saja
T: Risya
R. Nurul Qur'ani wooooww... kereeeen banget, Kak, sampai-sampai aku tak mampu berkata-kata.Pperjuangan yang sangat super!
T: Ida
Sulawati:
Bicara soal berani, kayaknya saya juga termasuk orang yang berani melangkah. Cie cie, memproklamirkan diri
ceritanya. Tapi
betul, salah satu bentuk keberanianku itulah yang membawaku kesini. Padahal
sebelumnya saya tidak tau apa-apa tentang media sosial dan dunia tulis menulis. Tapi
karena punya sifat kepo-kepo sedikit, akhirnya mencari tau apa sih
fesbuk dan sebagainya. Dan tidak tahu, tepatnya lupa, bagaimana caranya
Niar bisa mengajak
saya ke sini, gabung sama ibu-ibu dan calon ibu keren lainnya.
Keberanian lainnya
adalah, ketika bikin blog sendiri. Saking beraninya coba-coba, sampai jadi
beberapa rumah mayaku
dan kulupa password-nya J. Makanya blogku yang sekarang
tampilannya apa adanya
karena ilmu yang dipakai juga apa adanya hehehe. Btw,
dek Niar, dan teman-teman
lain, kasih komentar
dong tentang blogku sekaligus bagi ilmu
ngeblognya yaa: http://aksarabercerita.blogspot.com
J: Nah, Risya R. Nurul Qur'ani, Kak Ida
Sulawati, Abby Onety, Aida Al Fath, Haeriah Syamsuddin adalah contoh orang-orang yang berani mengambil langkah yang
lebih besar. Juga
teman kita
yang baru menang lomba: Nur Isdah Idris. Kalian keren .... tinggal
diteruskan. Kak
Ida, blognya sudah keren
..... tinggal sering-sering
diisi saja.
T: Haeriah
Syamsuddin:
Terima kasih pujiannya,
Niar.
Jadi ge er. Terus terang saya orangnya sangat
pemalu dan tidak pedean. Hal ini saya ceritakan dalam buku
antologi bareng saya, Niar, dan
Nunu (Nur Sahadati Amir):
Terapi
Menulis
itu.
Waktu pertama kali
tulisanku muncul di koran yang
timbul bukan perasaan bangga tapi
malu dan menyesal minta ampun. Malu
karena takut diketawai karena tulisannya jelek dan menyesal, kok saya nekad sih mengirim tulisan. Tapi sewaktu teman-teman di kampus tahu, ternyata tidak satu pun dari mereka yang mengejek dan mencela malah mereka
minta diajari menulis, minta
dibuatkan cerpen sampai minta dikenalkan dengan omku yang wartawan senior di koran tersebut.
Dari pengalaman tersebut
saya bisa katakan bahwa hanya diri kita sendiri yang bisa mengubah kita. Mau maju,
tetap di tempat atau malah mundur. Hidup adalah pilihan.
J: Benar
sekali, Haeriah Syamsuddin.
Saya
juga pada dasarnya tidak pedean ... minderan berlebihan malah. Cuma saya sadar sepenuhnya kalau
saya harus berkembang dan harus melatih diri, baik itu dalam hal menulis juga
dalam berbicara (di depan
orang banyak maksudnya). Alhamdulillah sudah banyak perbaikan, tidak seminderan dulu
T: Rahmadani
Nur Maghfirah Herman:
Sharing pengalaman
dari kak Niar
ditambah komentar dari kakak-kakak IIDNers bermanfaat sekali buat saya pribadi
(yang
dulunya sangat tidak menyukai kegiatan menulis dan suka minderan ini). Saya ada sedikit pertanyaan, Kak, bagaimana caranya mengembalikan semangat ketika kita
sudah berani melangkah tapi di "tengah perjalanan" kita menemui
hambatan yang
membuat semangat itu down, kak?
J: Satu hal saja, Rahmadani Nur
Maghfirah Herman: bangkit lagi. Itulah manfaatnya, ikut komunitas menulis, mudah-mudahan dengan demikian semangat menulis kita
bisa lebih terjaga karena bisa saling menyemangati.
T: Haeriah
Syamsuddin Saya sering lho kayak Dani.
Semangat di awal tapi di tengah-tengah mendadak meredup istilahnya “panas-panas
tahi ayam”
hehehe.
Kalau
"penyakitku" itu kumat biasanya saya kembali ke tujuan awal mengapa
saya menulis, mengapa saya harus menyelesaikan tulisanku. Kalau sudah "sadar" jadinya
semangat kembali.
J: Setuju
sama
Haeriah Syamsuddin. Saya
juga begitu. Cuma kalau
saya,
alhamdulillah biasanya kalo sudah mulai, menulis terus sampai selesai. Rasanya tidak enak sendiri kalau tidak diselesaikan.
0 komentar:
Posting Komentar