[Sabtu Berbagi] Berbagi Fiksi ala Dikpa Latifah

Sumber: www.tomvmorris.com
Materi Sabtu Berbagi pada 31 Oktober 2015 diisi oleh Dikpa Latifah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Selamat sore kakak-kakak IIDN yang selalu semangat.
Alhamdulillah ... setelah lama tak menengok dunia maya, akhirnya bisa online lagi.

Dapat amanah dari kak Mugniar untuk isi Sabtu berbagi, hmm ... agak malu sebetulnya. Mengingat beberapa bulan terakhir belum ada karya baru yang di-publish. Dan mohon maaf juga atas keterlambatan pemostingan. Yang harusnya dua pekan lalu baru bisa di-post sekarang. Seperti yang saya bilang tadi, maklum, di sini saya jarang sekali online.

Saya sedang belajar. Kita sama-sama belajar. Jadi, ini bisa dibilang sekadar sharing. Berbagi dan dibagi. Hehe.

Tentang diksi, pastilah kakak-kakak di sini sudah tidak asing lagi. Bagaimana kita memilih kata supaya apa yang kita tulis enak dibaca, mudah dipahami dan, kadang-kadang, menjadi unik atau berbeda dari tulisan kebanyakan. Ya ... semacam ciri khas begitulah.

Kalau menurut saya setiap penulis, dalam dirinya, sudah ada yang namanya bakat dasar. Tinggal bagaimana cara menemukan bakat itu. Termasuk bakat mengolah kata. Banyak kita baca penulis-penulis keren yang memang “tak ada samanya”. Mereka punya keunikan. Punya ciri khas. Semisal Andrea Hirata yang kental sekali dengan pengungkapan fiksi scientific yang bercampur gaya Melayu. Atau Dee yang bisa mengungkapkan ide-ide “aneh”nya dengan kata-kata yang bisa dibilang wow. Atau ... kang Abik yang bahasanya religius. Dan, banyak lagi lainnya. (Yang di atas murni penilaian dari kacamata saya. Hihi).

Bagaimana dengan kita? Sudahkah menemukan gaya berdiksi itu?

Sejujurnya, saya belum.

Tapi karena diminta untuk berbagi soal bagaimana berdiksi dalam menulis (khususnya fiksi), mungkin ini beberapa hal yang bisa saya sampaikan.

Setiap kita pasti punya cara masing-masing. Cara orang yang satu belum tentu cocok untuk yang lainnya. Dan, inilah cara saya. Hehe.

Membaca.

Ketika memutuskan menjadi penulis, membaca juga otomatis menjadi sesuatu yang penting. Harus. Membaca yang tidak sekadar membaca. Bukan hal sambil lalu atau sekadar lewat. Kita harus memerhatikan setiap inci dari apa yang kita baca. Termasuk kata-kata di dalamnya. Saya yakin kakak-kakak di sini juga sudah melakukan hal ini. Dan setelah kegiatan itu (membaca), terkadang kita sendiri terkejut karena ketika memulai menulis, ada sesuatu berubah. Simpanan kosa kata kita ternyata bertambah.

Maka tak pelak, ketika berhadapan dengan bacaan, saya juga sudah bersiap dengan pulpen dan buku catatan. Ini untuk mengantisipasi kalau-kalau ada kata-kata baru yang belum saya tahu artinya.

Peka. 

Sebetulnya ini masih ada kaitannya dengan membaca. Tepatnya, membaca keadaan. Menurut saya, penulis mesti punya kemampuan ini. Bisa membaca keadaan atau situasi lalu diam-diam menarasikannya dalam kepala. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang bunyinya kira-kira begini; Saya ingin terus membaca sampai semua yang saya lihat adalah serangkaian kalimat yang panjang. 

Peka. Bisa melihat fenomena di balik fenomena. Bisa mengalimatkan benda-benda.

Tapi, jangan seperti saya ya, Kakak-kakak. Kadang kalau mulai asyik dengan kegiatan ini, saya seperti tersedot ke dunia asing yang hanya saya yang bisa menikmatinya. Eh, tak tahunya ternyata seseorang telah menunggu saya menimpali obrolannya. Hehe.

Latihan. Ini sih kunci utama. 

Setelah membaca, tibalah waktunya mengaplikasikan tabungan kata-kata. Terus berlatih menulis dan menulis. Sssttt ... tahu tidak, seseorang bisa dibaca dari apa yang mereka baca, lho (yang ini abaikan saja). Katanya, kalau ada rasa malu ketika membaca tulisan lama kita, bisa jadi itu karena tulisan kita yang sekarang sudah ada peningkatan mutu. Nah, kalau malu baca tulisan yang sekarang, itu beda lagi. Artinya kita kurang percaya diri. Hehe.

Dulu saya sering berlatih menulis cepat tanpa memusingkan jalan cerita dan unsur-unsur intrinsik untuk menguji seberapa bisa saya mengolah kata-kata. Saya melakukan itu tiap pagi selama sepuluh menit lebih kurang dan, tulisan-tulisan itu jelas cuma untuk konsumsi pribadi. Ajang latihan. Jadi misalnya; di latihan awal saya menulis, Anak itu tertawa keras sekali dan tak bisa berhenti karena mendengar lelucon pak Amat. Maka di latihan berikutnya saya berusaha mencari padanan katanya. Mungkin menjadi begini; Mendengar lelucon pak Amat, anak itu terpingkal-pingkal.

Latihannya sederhana-sederhana begitu lah. 

Kalau sekarang, saya sudah tidak latihan dengan cara ini. Latihannya berusaha diubah menjadi lebih serius dengan membuat tulisan yang bisa di-publish. Hehe.

Itu saja dari saya tentang bagaimana proses berdiksi. Saya yakin kakak-kakak di sini punya cara yang tak kalah keren dan unik—yang mungkin bisa dibagi ke saya. Hehe.

Satu lagi, mohon doanya untuk kandungan saya yang tak lama lagi habis bulannya. Doa semoga bisa lahiran normal dan semuanya sehat-sehat. Aamiin. Juga doa untuk lahiran karya kami (saya dan suami) yang sementara digarap. Insya Allah dalam bentuk buku. Dan, untuk komunitas baca “Kunang-kunang” yang saat ini mulai aktif—semoga bisa tambah aktif. (Ini sih nodong namanya. Hehe. Mohon maaf kakak-kakak yang baik hati).

Untuk pertanyaan, komentar, kritik saran dan lain-lainnya, mohon maaf kalau lambat dibalas. 

0 komentar:

Posting Komentar