Tanya Jawab [Sabtu Berbagi] Bersama Arniyati Shaleh

 Puisi kemudian menjadi tema diskusi Sabtu Berbagi yang pertama kali dilakukan para ibu rumah tangga dan calon ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Makassar (pada tanggal 1 November 2014) di grup Facebook (materinya bisa dibaca di sini). Diskusinya menjadi sangat menarik karena pemateri (Arniyati Shaleh) tidak hanya memberikan teori, tapi praktek langsung oleh penanya untuk kemudian didiskusikan bersama pemateri. Nah, berikut ini kompilasi diskusi yang diadakan secara online.

Ditanyakan oleh Mardiyah Na (T): Tentang puisi ya ... susah mana puisi atau cerpen, Bun?
Jawab (J): Tidak ada yang susah dari keduanya, asal rajin praktiknya.

T: Andi Bunga Tongeng: Mengapa tertarik menulis puisi?
J: Menulis puisi bagi saya adalah ajang luapan rasa, termasuk protes sosial yang jalurnya aman. Saya sendiri sejak SD sudah sering menulis puisi. Puisi pertama saya Selamat Pagi Indonesia dimuat di Pedoman Rakyat tahun 70-an, saya SD kelas 3. Duh senangnya karena semua Om/Tante yang baca di koran langsung menelepon ke rumah memberikan ucapan selamat.

Sumber gambar: www.education-portal.com
T: Andi Bunga Tongeng: Karena saya tidak punya buku antologinya, bisakah share di kolom komentar, salah satu puisi (siap-siap jari pegel ketik puisi). Saya mau bertanya tentang isi puisinya.
J: Karena saya lagi makan di warung jadi izinkan saya menulis puisi baru di sini, boleh? Saya tidak bawa lapy soalnya
Perempuan
*dedicated Andi Bunga T
Di bumi ini
Kehamilan tak pernah jeda menjentik derita
Walau akhirnya peluh menganak sungai
Di bumi ini
Kehamilan adalah simbol maskulin
tanpa mau tahu jejaknya 'kan melayukan dan melahirkan alasan mencari daun muda
Dan kita bagai pinus meliuk liuk tanpa tahu sampai kapan
Makassar, 1 November'14
Semoga suka

T: Andi Bunga Tongeng: Kehamilan adalah simbol maskulin. Mengapa? Karena  perjuangannya? Apakah kehamilan yang dimaksud adalah kehamilan dalam arti sebenarnya?
J: Puisi itu jadi lebih syahdu kalau tafsirannya berbeda. Silakan tafsirkan. Saya tadi berpikir puisi ini bisa bermakna ambigu: merujuk ke kenyataan efek hamil dan simbol kejantanan.

T: Andi Bunga Tongeng: Saya lebih memilih kehamilan sebagai simbol kekuatan hehehe… Apakah setiap puisi, bertugas sebagai penyampai pesan kepada pembacanya, atau hanya terletak pada keindahan untaian kalimatnya? Teringat puisi yang tujuannya untuk mengkritik.
J: Saya suka: Kehamilan sebagai simbol kekuatan
Puisi semestinya penyampai pesan, kalau ada untaian kata yang indah tapi tanpa pesan itu hanyalah sebatas kumpulan kalimat puitis. Bedakan kalimat puitis dengan puisi itu sendiri. Nah, tak jarang seorang pemula seperti saya terjebak dalam kalimat puitis tanpa makna karena sok puitis.
T: Ida Basarang: Jadi bagaimana cara menyelipkan pesannya, Kak?
J: Kita harus konsisten mau sampaikan pesan apa. Coba Ida tulis di kolom komentar dua tiga bait puisi terus kita lihat apa pesannya sampai atau tidak. Ingat ya puitis belum tentu puisi J

Saat matahari menjadi garang
Peluh berlomba berjatuhan
Aku mengokohkan kaki
Berdiri menantimu
Hanya ini terpikirkan kak Arniyati Shaleh, pantaskah disebut puisi? Ataukah mencapai puitis pun tidak?

J: Pesannya tentang kesetiaan kan?
Kala Sang Surya Menggarang
Menitikkan peluh tanpa jeda
Aku bahkan bergeming menantimu
Kakiku kokoh
Hatiku kukuh
Padamu jua.
*Ini versi saya tapi dari puisi tadi.
Untuk membuat puisi, pertajam intuisi dan sense of “syahdu”.

T: Dikpa Sativa: Bunda sejak kapan mulai nulis puisi? Kenapa Bunda bisa tertarik?
J: Lupa tepatnya sejak kapan. Cuma sempat di-cut sama Om Don katanya puisi itu tidak bakalan laku jadi nulis cerpen saja deh. Tapi Bunda suka berbalas puisi sama Om Farick dulu dan beliau suka gaya Bunda. Sederhana tapi menusuk, katanya.
Oh ya, atas anjuran guru cerpen saya, Om Donatus A. Nughroho, tiap cerpen saya ada puisinya, sebagai brand image kalau akhirnya saya jadi penulis dan akhirnya sebagian besar cerpen saya memakai puisi yang tentunya sesuai dengan tema cerpen. Puisi bagi saya lautan ide dalam menulis cerpen.
.
T: Sri Muliana: Kalau langkah-langkah menulis puisi bagaimana, Bunda? Apakah ada hal-hal yang mengikat dalam membuat puisi? (belum pernah bikin puisi)
J: Nah puisi kan terbagi beberapa jenis. Jadi tergantung jenisnya. Kalau puisi sekarang condong ke puisi bebas tanpa ikatan rima dan lain-lain, tapi tetap ada ikatan teoritisnya seperti kepaduan kata, pesan maupun diksi. Langkah-langkahnya: banyak membaca apa saja terutama puisi-puisi sasaran (jenis puisi yang ingin kita dalami). Perkaya diksi, asah nurani untuk peka pada sekeliling (itu langkah saya karena masing-masing orang beda langkahnya).

T: Indah Febriany: Kira-kira biasanya Kakak kalau buat puisi butuh berapa lama? Dan … bagi tip, dong.
J: Tergantung (maksudnya: tidak tentu), kadang tidak sampai lima menit per puisi. Pernah coba capai rekor 10 puisi dalam 4 jam.  Tipnya: Lahap puisi sebanyaknya perkaya kosa kata. Percaya pada kata hati. Puisi lebih ngena kalau dari hati bukan ikuti teori. Tapi teori perlu untuk menuntun kita berkarya

T: Ida Basarang: Wah hebat sekali 10 puisi dalam 4 jam. Itu tanpa jeda, Kak? Terus temanya beda semua? Bagaiman berpikirnya itu?
J: Mengalir begitu saja ....mungkin karena sudah terbiasa. Iya temanya berbeda-beda

T: Abby Onety : Saya tidak tahu apakah ini puisi atau apa namanya. Saya hanya ingin mengungkapkan "kalau senja mulai datang aku terbungkus sepi." Kata-kataku seperti ini:
Ingin berlari
Menghalang senja
Yang selalu datang
Menggulung sepi
Ataukah saya selipkan juga kata "tentang ombak yang menggulung”?

J: Sudah bagus. Tapi apakah dengan berlari senja bisa terhalang? Coba ganti 'berlari' dengan kata “menghadang”. Ingat, dalam fiksi juga tetap berlogika. Jadi waspadai kalimat puitis, jangan sampai terkesan asal-asalan.
Ingin berlari menghalang senja » kalau ada keterangan berlari ke arah senja ya logis saja. Tapi kalau berlari berdiri sendiri kan tidak logis karena harusnya menghadang atau kata lain yang mengacu.

Ketika hati mulai mendua, rasa pun sirna.
Asa yang pernah ada lenyap sudah dalam bayang kesemuan.
Merindu tak lagi sesesak dulu. Kini rindu menikam sukma, menggerogoti raga.
Betullah judul sebuah tembang "sakitnya tuh di sini"
(Terinspirasi dr sebuah lagu)
Bagaimana dengan puisi ini kak?

J: Merindu tak lagi sesesak dulu.
Kini rindu menikam sukma, menggerogoti raga.
Simak coba, apa bedanya sesak dengan menikam, menggerogoti? Seandainya tidak sesesak dulu berarti tidak disiksa rindu lagi toh?

T: Nur Sahadati Amir: Iya sih, Kak. Maksud saya di sini merindu tak sesesak dulu. Kini rindu menikam sukma dan seterusnya. Artinya rindunya semakin parah, Kak. Rindu bercampur benci dan dendam. Bagaimana kata-katanya yang bagus biar maksudnya sampai?

J: Berarti ganti “tidak sesak”-nya supaya tidak ambigu.

T: Nur Sahadati Amir: Kalau "rindu ini semakin menyiksa, menikam sukma dan menggerogoti raga"?

J: Nah! Pas!

Warnamu sudah memudar,
Matamu tak secerah dulu
Hidungmu tinggal setengah
Dan bibirmu telah menghilang ntah kemana.
Tapi kau tetap setia disini bersamaku,
menemani ketika diriku terlelap,
setia mendengar curhatan konyolku
meski kau tak dapat berkata.
Terima kasih sahabat bisuku yang menemaniku ketika usiaku baru satu.
Puisi yang terinspirasi dari bonekaku.
J: Biarpun puisi tetap ingat EYD misalnya: “di sini” bukan “disini”. Sudah bagus.

T: Ida Sulawati :
Senyumnya berkata tidak.
Diamnya memberontak,
lembut katanya menghentak,
berlaku dia sekehendak...
Bagaimana ini, puisi atau kata puitis?
J: Senyumnya berkata tidak. Diamnya memberontak, lembut katanya menghentak, berlaku dia sekehendak...« Ini lebih pas disebut “sajak berima”. Rimanya berada di akhiran “K”. Bagus Kak!

T: Ida Sulawati : Bagaimana aturannya kalau puisi??
J: Nanti minta ruang untuk bahas di grup ya karena panjang sekali pembahasanya.

T: Mariana J :
Kau dekap aku lagi lara
dalam rengkuhan basah air mata
tak bertanya apakah ringkih hatiku masih sanggup menahannya
lalu kau berbisik penuh pasti lara
jika kau tak diturunkan ke bumiku
nasibku andai aku serapuh dugaan kepalaku yang fana.
Bagaimana dengan ini?


J: Kurang logis kalau “air mata merengkuh”. Sudah bagus puisinya tapi masih perlu disuntik kiri-kanan. Butuh pembahasan panjang lagi.



Kompilasi tanya-jawab ini disusun oleh Ida Basarang

0 komentar:

Posting Komentar