Oleh-Oleh Cantik Dari Dee's Coaching Clinic


Sumber: http://makassarevent.com/

Salah satu cara efektif mengikat ilmu adalah dengan menuliskannya. Oke. Mari menuliskannya... *keretekin keyboard*

Saya terpilih untuk menjadi peserta Dee’s Coaching Clinic Makassar pekan lalu. Kata Dee, kami ini adalah kelinci percobaan, semacam objek riset bagi proyek nulis nonfiksi beliau. Sebuah karya yang isinya tentang tips menulis ala Dee. Whatever it is, I feel so lucky. Memperoleh kesempatan untuk DIDATANGI dan mendengarkan seorang penulis sekelas Dee membeberkan rahasia dapurnya, itu sungguh wow buatku. Belum lagi nanti boleh nanya-nanya, yeaay!

Dee datang dengan mengenakan stelan rok panjang yang manis plus tank top yang dipadu blazer rajut panjang. Ia memilih gradasi warna putih gading dan krem hari itu untuk busananya. Sweet-sexy, I had to admit, semoga peserta cowoks pada ngga salah fokus hihihi. Dia muncul mengejutkan kami dari belakang susunan kursi. Well, sebagai informasi Dee pagi itu baru saja mendarat dari Jakarta dan tiba di lokasi langsung mengisi acara. Cool, ya?

Tanpa membuang waktu, begitu MC menyerahkan acara padanya, Dee pun langsung to the point memberikan coachingnya. Dee memilih topik ide/inspirasi sebagai pokok pembahasan pertama. Sesuai pengakuannya, hidup itu sendiri adalah inspirasi terbesarnya dalam menulis. Ia juga mengatakan bahwa sebagai penulis ia hanya akan menulis sesuatu yang ia ingin baca. Sepertinya Dee hendak mengatakan kau takkan bisa menyetir apa yang harus kutulis, oke!

Kalau mengenai teori menulis, Dee mengakui ia tidak pernah secara spesifik menggunakan teori. Menulis ya menulis saja. Eh, kok kita sama ya, Dee? Bahkan soal kerangka, baru belakangan ketika ia menulis novel yang lebih panjang halamannya barulah ia merasa perlu membuatnya. Ia membahasakannya sebagai ‘Pemetaan Cerita’. Dee menganalogikan dengan kau hendak mencapai pulau B dari pulau A. Untuk mengarungi samudera yang ada ditengahnya maka kau akan memerlukan bantuan pulau-pulau kecil sepanjang perjalanan. Semacam itulah.

Satu hal yang menarik adalah bagaimana Dee mempersonifikasi ide. Begitulah cara ia berteman dengan ide, memperlakukan mereka seperti sesuatu yang hidup. Dan agar para ide itu mau datang dan mengajak serta teman-temannya untuk menyerbumu, ada 3 hal yang menurutnya akan membuatnya terjadi.

Ide akan datang pada orang-orang yang berpikir kreatif. Orang-orang yang berpikir di luar kesadaran dirinya, dengan cara bersedia memperluas medan kesadaran diri. Untuk menjelaskan soal ini, Dee meminta kami langsung praktek. Ia lalu mengambil sebuah pot berisi pohon anggrek kecil dan meminta siapa pun dari kami untuk coba memandang objek di tangannya dengan cara yang kreatif lalu menceritakannya. Dan kau tahu, ehm, aku langsung mengambil kesempatan itu. Dengan tangan gemetaran aku mengambil mikrofon yang disodorkan Dee padaku. Oh my God, nekatku!

Ide akan datang pada orang-orang yang peka, seorang yang senang mengamati. Cukup jelas ini ya, tak usah saya rewrite.

Ide akan datang pada orang-orang yang disiplin. Orang-orang yang memang punya plan untuk mengolah ide, punya target, punya tenggat waktu. Bukan sekadar punya wish to be a writer. Oke noted that, PLAN vs WISH, ya!

Satu hal yang saya suka selama berlangsungnya coaching, saya merasa Dee paling banyak melakukan kontak mata denganku. Uhuk, uhuk! Sampai-sampai saya sempat merasa coaching hanya milik kami berdua. *nih nyodorin kresek* Tapi memang sih, secara mental saya emang benar-benar sudah menyiapkan diri untuk acara itu. Saya mendedikasikan diri saya menjadi sebuah sponge yang siap menyerap semua ilmu yang akan ia berikan. Saya bahkan sengaja skip kompetisi live tweet yang berhadiah cukup menggiurkan, yaitu lunch bareng Dee. Well, biarlah ... yang penting saya bisa fokus menyimak seluruh penyampaiannya. Menatapnya langsung di mata. Dan sepertinya energi motivasi itu sampai padanya sehingga membuat ia pun betah melakukan kontak mata denganku selama hampir seluruh sesi.

Hahahaha... kemudian digetok peserta lain.

Di sesi pertanyaan, begitu mikrofon ada di tangan saya, saya pun tidak menyia-nyiakannya untuk segera mencereweti Dee. Salah satu pertanyaan saya adalah soal ending. Saya menanyakan bagaimana membuat ending yang baik. Apakah harus tidak terduga atau bagaimana? Dan ternyata saya mendapati bahwa Dee rupanya bukan penganut paham ending seperti itu. Secara pribadi, ia adalah penyuka happy ending. Dan baginya yang jauh lebih penting adalah bagaimana ia bisa mengikat pembaca dengan jalan ceritanya sedari mula hingga sepanjang perjalanan. Sehingga kelak ending ‘hanyalah’ sebagai penyelesaian dari kisah. Tak peduli ia tertebak, atau bahkan seperti itulah yang diinginkan pembaca. Ia pun mencontohkan dengan membayangkan dirinya membaca ratusan halaman novel kisah cinta, ia akan lebih menginginkan akhir yang bahagia ketimbang tokohnya mati semua, misalnya.

Sedangkan menurutnya ending yang sulit ditebak lebih cocok untuk cerita yang bergenre misteri dan semacamnya. Oke. I kinda agree with you, Dee. Maksudku, aku juga pecinta happy ending untuk novel. Yaah, semacam hidupku sendiri sudah terlalu rumit, saya nggak ingin dong membaca novel pun saya jadi mumet hihi #curcoldetected. Harry potter, tentu saya akan marah besar jika ternyata Harry mati di ujung cerita (sedangkan Dumbledore mati pun sampai kini saya masih ingin protes sama penulisnya hehe). Twilight, tentu saja saya ingin Bella dan si vampir hidup bahagia selamanya. Superman, tentu saya ingin ia selalu menang melawan semua musuh-musuhnya. The Maze Runner, saya belum baca serial ketiganya, awas aja kalau Tom ngga berhasil menguak dan memenangi segala percobaan tidak masuk akal yang ditimpakan pada dirinya! Seperti itulah.

Apalagi, ya? Ya masih banyak sih yang dibahas sebenarnya, mungkin kalau mau dapat ilmu utuhnya boleh ditunggu bukunya kelak terbit. Alesan banget sih ini, bilang saja cape ngetik wkwk.

Oh, iya, satu hal yang cukup membuat saya terpana adalah ketika Dee mengatakan bahwa ia melafalkan seluruh manuskrip novelnya sebelum diajukan untuk dicetak. Dibaca keras-keras. Kamu nggak kaget? Oke, saya sih kaget pake banget. Kalau dia bilang coba lafalkan dialog-dialog dalam tulisanmu, oke itu sih biasa. Tapi membaca keseluruhannya. Nggak peduli suara kamu bakal serak kek, tuturnya sambil nyengir. Well, setidaknya ini memberi banyak petunjuk buat saya, kenapa karya Dee itu enak dibaca. Bercerita banget. Setidaknya Madre dan Gelombang yang masih saya ingat =p


Yah, demikianlah kira-kira. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan ya. Keep writing, buat yang punya PLAN to write. Buat yang masih wish-wish doang, yuk toyor pala ndiri bareng-bareng

2 komentar:

  1. Keep writing. Terus semangat nulis. ^^/

    BalasHapus
  2. Aseg dpet ilmu lg...
    Makasi y mak niar..
    Mau nyobak dipraktekin ah

    BalasHapus