Selasa, 27 Januari 2015

[Sabtu Berbagi] Antologi Aisyah

Ini sesi [Sabtu Berbagi] pada tangga 24 Januari 2015, menampilkan Aisyah sebagai nara sumber
Aisyah, buku antologi yang memuat tulisannya sudah 5 yang terbit: Ibu dalam Memoriku, Payung Cahaya, Karena Bahagia Itu Sederhana, My Horror Stories, dan Rumput Tetangga Memang Terlihat Lebih Hijau.

Rumput Tetangga Memang Terlihat Lebih Hijau merupakan antologi yang terdiri atas 24 orang penulis. Buku ini bercerita tentang beragam cerpen inspiratif dari beberapa penulis, dalam buku ini saya menulis kisah anak yang kena penyakit non medis lalu akhirnya meninggal dunia. Ibunya mengalami depresi sebab kehilangan anak yang disayanginya. Cerita ini merupakan kombinasi fakta plus fiksi.

Selasa, 20 Januari 2015

[Sabtu Berbagi] A Bunga Tongeng: Berkomunitas untuk 10 Hal Ini

Pada tanggal 17 Januari 2015, [Sabtu Berbagi] diisi oleh Andi Bunga Tongeng yang akrab disapa Bunga atau Unga. Ibu berputra 2 yang menginjak usia remaja ini merupakan ibu yang sangat aktif dalam berkomunitas. Berikut sharing dan diskusinya di grup FB IIDN Makassar.

Assalamu 'alaikum, teman-teman cantik.

Sabtu ini, saya kebagian berbagi tentang pengalaman berkomunitas. Saya berusaha menuliskannya sesingkat mungkin, agar ruang diskusi bisa terbuka lebar. 

Saat ini, saya bergabung di beberapa komunitas, antara lain: Arisan (se-hobby, arisan dan silaturrahmi warga RT tentunya), IIDN, Sobat Lemina (komunitas Relawan anak), Penyala Makassar (komunitas relawan penggalang donasi buku, Indonesia Mengajar), Kelas Inspirasi (Indonesia Mengajar, komunitas relawan panitianya), Sahabat BaKTI, dan Sahabat Harimau WWF.

Minggu, 18 Januari 2015

Kopdar IIDN di SMA Nasional

IIDN untuk pertama kalinya mengadakan kopdar di salah satu sekolah swasta yang bernama SMA Nasional Makassar beralamat di jalan Dr. Ratulangi No 84. Kegiatan yang berlangsung pada pukul 09.00 WITA membicarakan beberapa agenda pembuatan buku antologi tentang budaya lokal Sulawesi Selatan/Barat dan melakukan kerjasama dengan komunitas islam yang disarankan oleh Aisyah.  

Kegiatan yang diadakan di ruangan ketua yayasan yang terkesan formal ternyata kontras dengan tampilannya yang berjalan santai dipenuhi dengan canda tawa. Dalam kopdar tersebut Mugniar bercerita mengenai kisah keluarga, anak dan suaminya. Abbi Onety, Ida dan Aida, bercengkrama tentang sejarah berdirinya yayasan dan pengembangan blog pribadi, serta study singkat dari Ida mengenai fotografi bersama Nursahadati Amir dan Nahla.

Beberapa dokumentasinya sebagai berikut :




Dalam setiap kopdar tidak lupa ada cemilan yang selalu dibawa oleh anggota IIDN, berikut  hasil kreasi kuliner, hmmm yummyy

Olahan cemilan cokelat oleh Ida Basarang

Selasa, 13 Januari 2015

[Sabtu Berbagi] Seberapa Berpengaruhkah Komentar Blog?

[Sabtu Berbagi] pada 10 Januari 2015 diisi oleh saya (Mugniar). Berikut materi dan diskusinya yang berlangsung di grup FB IIDN Makassar:

Seberapa besarkah pengaruh komentar blog bagi kalian? Jujur, bagi saya komentar di blog penting. Setiap habis posting tulisan, saya menunggu-nunggu komentar yang masuk. Kalau sudah berjam-jam posting belum ada komentar masuk, saya bertanya-tanya sendiri, “Kenapa ya belum ada yang komentar?”

Dampak positif komentar yang masuk bagi saya adalah:
  • Membuat saya semakin bersemangat menulis (kalau komentarnya positif).
  • Jadi feed back untuk memperbaiki kualitas tulisan.
  • Makin meyakinkan diri bahwa menulis di blog itu membahagiakan meski tulisan kita tak dibayar tapi tulisan kita bisa bermanfaat bagi orang lain saja sudah luar biasa.

Kamis, 08 Januari 2015

[Sabtu Berbagi] Bagaimana Memulai Menulis Cerita Anak

Pada hari Sabtu, 3 Januari, Erlina Ayu membagikan pengalamannya mengenai cara membuat cerita anak. Berikut uraian dan diskusinya di grup FB IIDN Makassar:

Bagaimana cara mulai menulis cerita anak?
* Mencari ide
* Menentukan tema cerita
* Menentukan tokoh cerita
* Menentukan setting cerita
* Menentukan alur atau jalan cerita

Ide bisa didapat dari pengalaman sehari-hari, mengamati sesuatu, membaca buku, browsing internet, menonton film, melihat gambar, jalan-jalan, ngobrol bersama teman, apa yg kita rasakan (senang, sedih, bosan, marah).
  • Memilih tema : petualangan, alam, horor, misteri, kepahlawanan, persahabatan.
  • Memilih tokoh : manusia, peri, kurcaci, hewan, monster, robot, hantu, mainan, tanaman.
  • Setting tempat : negeri atau kota mana, luar angkasa, planet lain, sekolah, rumah sakit, taman.
  • Setting waktu : masa lalu, masa kini, masa depan.
  • Jalan cerita : bagaimana awal cerita, tengah cerita dan akhir cerita.

 
Sumber: www.rjjulia.com
Coba bikin, yuk, masing-masing. Apa tema, siapa tokohnya, dimana settingnya, seperti apa kira-kira jalan ceritanya. Tulis di kolom komentar ini ya ...

Tanya (T): Ida Basarang (menuliskan ide cerita anaknya, sebagai berikut):

Mengumpulkan Jempol

"Bun...Bun..." Dedi bergegas ke dapur mencari ibunya setelah bangun tidur.
"Alhamdulillah, anak bunda hebat, jam 5 sudah bangun. Ada apa nak?" tanya bunda. Bunda senang melihat anaknya bangun cepat. Karena Dedi sangat susah dibangunkan.
"Bun hari ini Dedi mau ngumpulin jempol," jawab Dedi.
"Ngumpulin jempol?" tanya bunda kurang paham.

Dedi menceritakan pengalamannya berkunjung ke rumah Ihsan hari minggu kemarin. Dedi diam-diam memperhatikan Ibu Ihsan yang selalu mengangkat dua jempolnya setiap Ihsan melakukan suatu pekerjaan yang baik. Sementara Ihsan akan menghitung berapa jempol yang diperolehnya. Dedi pun ingin mengikuti Ihsan mengumpulkan jempol. Hari itu Ihsan mengumpulkan 30 jempol dari ibunya.

Bunda pun paham dengan maksud Dedi.
"Kalau begitu, Dedi mandi dulu, jangan lupa berwudhu, kemudian..." ujar bunda. Tapi belum selesai kalimat ibu, Dedi melanjutkannya.
"Shalat subuh kan bun? Dedi mandi dulu yah."
Bunda mengangguk.

Dedi mengambil handuk di kamarnya dan bergegas ke kamar mandi.
"Dedi," panggil bunda sebelum Dedi melangkah masuk kamar mandi. Dedi melirik bundanya di dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi.
Bunda mengangkat kedua jempolnya. Dedi tersenyum dan mulai mengitung, "Dua."

Jawab (J): ide dan alur penulisan sip. Ending-nya mungkin bisa dibuat Dedi lebih ceria agar pembaca terbawa suasana. Misalnya: "Yes, dua jempol!" Dedi mengepalkan tangan kanan dan meninju udara. Bagaimana dengan teman-teman, mau ikut mengumpulkan jempol juga seperti Dedi?

T: Mum Mukholi: Mba, ini saya coba. Berantakan sepertinya ini, hehe (ide cerita anak Mum Mukholi dituliskan di bawah ini):

SEPI

"Liburan kali ini, pasti membosankan", batin Nira.
Teringat ia akan libur semester lalu. Ayah dan ibu sibuk. Akhir pekan, hanya diisi dengan jalan-jalan ke mall.
"Aku bosaann", teriak Nira.
-------
"Ayahh, ibuu, Nira kan lagi libur ni. Jalan-jalan yukk. Semua temanku sudah punya rencana dengan orang tua mereka. Ada yang ke luar kota, ke pantai", pinta Nira.
"Loo, setiap akhir pekan ibu dan ayah juga mengajakmu jalan, kan?", jelas ibu.
"Iya. Yang penting kan jalan-jalan", tambah Ayah.
"Tapi, aku bosan yah, bu. Pasti ke mall lagi. Ingin rasanya pergi berkunjung ke rumah keluarga di luar kota. Pergi menginap sekitar tiga hari atau sepekan. Apalagi jika rumah keluarga ada di desa. Waah..pasti menyenangkan", ucap nira takjub.
"Hmm..nanti lah kita lihat", terang ayah. "Sebab di kantor, cukup banyak kerja ayah".
Nira hanya tersenyum kecut. Terbayang betapa membosankannya liburan di rumah. Sendiri.

Sepi. Ingin berkunjung ke rumah Nita, tapi nita pergi ke rumah neneknya di bogor. Pasrah.
Keesokan harinya.

"Nira..nira, tolong ambilkan kacamata ayah dong. Ada di kamar. Di atas meja rias ibu", ucap ayah yang duduk di samping Nira. Ayah ingin memakai kacamata untuk membaca koran yang ia pegang.
Nira yang sedang menonton film kartun kesukaannya, berdiri dengan malas menuju kamar ayah ibunya. Setibanya di dalam kamar.
"Ehmmm..apa ini di bawah kacamata ayah?. Eh, tiket pesawat. Tujuan Makassar".
Di dalamnya tertulis nama Nira. Berangkat pada hari sabtu. Artinya dua hari lagi. Lalu ia ambil dua tiket lainya. Ternyata milik ayah dan ibu.
"Ayah, ibu. Buat kejutan ya untuk Nira?, tersenyum nira menghampiri ayah dan ibunya.
Ayah dan ibu saling memandang. Melempar senyum kepada nira.
"Hehe..iya. itu tiket ayah beli untuk kita bertiga. Ibu dan ayah mengambil cuti di kantor, selama Nira libur", ucap ibu.
"Kita akan mengunjungi Tante nina. Kakak dari ibu. Beliau tinggal di sinjai, Sulawesi Selatan. Kita akan menghabiskan hari libur di sana, Ayah menambahi.
"Horee..Alhamdulillaah. Akhirnya terkabul juga keinginanku. Terimakasih ya ayah, ibu". Ia peluk dan ia cium kedua orang tuanya.

J: ide sederhana yang mengalir menjadi sebuah tulisan. Kesalahan lebih ke tanda baca saja.

Tanggapan: Ida Basarang: Wah, terima kasih sudah dibilangin “sip” kak Erlina Ayu jd semangat lagi, mau dikembangkan ceritanya. Terima kasih banyak sarannya. “Cerita anak harus lebih ceria”.

T: Mum Mukholi: Iya, Kak. Terimakasih banyak masukannya. Iya. Ini cerita sederhana sekali kak. Malah kurang "menggigit" ya, Kak

J: Mum Mukholi : enggak kok. Ide sederhana dikemas menarik juga bisa. Misal tokohnya binatang atau monster lucu yg berbulu. Tinggalnya di kota fantasi atau planet lain. Jalan ceritanya bisa dibuat sama.



Senin, 05 Januari 2015

Mengambil Jeda, Merajut Benang Cahaya


Setiap manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing, begitupula dengan sebuah tulisan, dan saya selalu memercayai itu.

Merajut Benang Cahaya adalah buku pertama saya yang terbit secara nasional. Jika melihat buku sederhana bersampul warna favorit saya itu, maka kebanyakan orang mungkin akan melihatnya selayaknya buku-buku lainnya. Tapi tentu tidak bagi saya. Setiap tulisan –dalam bentuk apapun ia kemudian terpublikasikan, selalu menyimpan cerita tersendiri bahkan memiliki perjalanannya masing-masing. Izinkan saya menceritakan berbagai hal yang harus dilewati oleh Merajut Benang Cahaya, hingga akhirnya tertakdir untuk terlahir (kembali)!

Ini bermula dari kesenangan saya menulis di blog yang sepi pengunjung, sejak kelas dua SMA. Saat itu, saya bergabung dalam kepengurusan sebuah organisasi jurnalistik bernama Jenius03. Di kelas tiga, sesuai dengan peraturan organisasi, saya pun resmi menjadi alumni Jenius dan tentunya kehilangan kesempatan untuk tetap menulis di majalah ataupun mading –meski sebelum LPJ, sebagai redaktur pelaksana, saya mencoba mengamankan eksistensi dengan membuat rubrik yang khusus diisi oleh alumni *hehehe...*

Setelah tidak lagi intens menulis untuk Jenius, blog pun menjadi ‘pelarian’ yang menyenangkan untuk menyelamatkan isi kepala saya. Tentu saat itu perkembangan media sosial belum seheboh sekarang. Maka saya pun terus menulis meski tahu tidak ada yang membacanya.

Aktivitas itu terus berlanjut hingga akhirnya saya ternyata berhasil mengumpulkan sejumlah tulisan. Beberapa kawan menyarankan saya untuk mencoba menulis buku atau membukukan isi blog tersebut. Saya berada di akhir masa kuliah S1 saat itu, saat kemudian menemukan sebuah cara praktis untuk menerbitkan buku; penerbit independent.

Dalam segala ke-hectic-an pengerjaan penelitian, saya berazzam di dalam diri bahwa akan memulai proses penyusunan buku ketika skripsi saya sudah rampung. Ini dalam rangka memberikan motivasi pada diri agar bersemangat menggarap tugas akhir dan juga agar konsentrasi saya tidak terpecah. Tapi faktanya, saya tidak bisa menunggu. Akhirnya, manuskrip buku itu pun rampung duluan sebelum saya menyelesaikan penelitian, lalu terbit sekitar empat puluh hari kemudian. ‘Anak pertama’ saya lahir pada Desember yang lembab oleh hujan pada 2012, ia saya panggil; Jeda Sejenak.

Jeda Sejenak adalah kumpulan tulisan renungan yang berisi esai dan puisi yang saya comot dari kedua blog saya. Meski terbit indie, saya bersyukur sebab beberapa kawan berbaik hati untuk membelinya dan ikut heboh memasarkannya. Saya bahkan sempat beberapa kali memperbincangkan Jeda Sejenak dalam forum-forum semi-formal. Saya naik turun angkot mengantarkan pesanan buku dan melobi toko buku untuk berkenan memajang Jeda Sejenak di tempat mereka. Hingga alhamdulillah, Jeda Sejenak sempat bertengger di jajaran bestseller versi penerbitnya, Leutikaprio.

Dalam perkembangan selanjutnya, ide baru tentang buku ini kemudian muncul dari beberapa kawan yang membacanya. Mereka menyarankan kepada saya untuk mencoba menawarkan Jeda Sejenak pada penerbit yang lebih besar, sehingga bisa terbit secara nasional. Masuk akal. Saya pun mulai melakukan revisi di sana-sini, dan mengirimkannya kepada penerbit lainnya, setelah sebelumnya mengonfirmasi pihak Leutikaprio tentang kemungkinan dari hal tersebut.

Saban hari saya menunggu e-mail dari penerbit, berharap pengajuan naskah saya diterima. Apakah mudah? Tentu tidak. Naskah saya ditolak oleh beberapa penerbit dengan berbagai alasan. Saya bersyukur bahwa penolakan itu tidak pernah membuat saya menyerah, namun justru semakin bersemangat untuk terus melakukan revisi pada naskah itu. Setiap ditolak, maka saya revisi lagi. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Penambahan dan pengurangan tulisan pun saya lakukan, hingga pada kesempatan terakhir, saya sadar; Jeda Sejenak telah bertransformasi menjadi bentuk yang lain.

Dan setiap penantian memang akan menemui ujungnya. Selayaknya yang saya yakini, setiap tulisan memang memiliki takdirnya sendiri. Mungkin ada yang berjodoh dengan media cetak, media online, atau mungkin memang hanya untuk dibaca di blog atau bahkan di laptop sendiri. Jeda Sejenak sendiri, ternyata tertakdir untuk dibaca oleh lebih banyak orang, dan menyebar ke berbagai tempat yang mungkin tidak akan pernah saya injak seumur hidup.

Penerbit terakhir yang menjadi pelabuhan final naskah itu adalah Bhuana Ilmu Populer yang kemudian menerbitkannya lewat lini penerbit bergenre agama Islam; Qibla. Dan proses berikutnya pun tidak kalah panjang, sekitar sembilan bulan lamanya sejak naskah disetujui, melewati proses pengurusan kontrak penerbitan, editing, desain cover dan layout, proof reading, mengantri untuk naik cetak, hingga akhirnya naik cetak dan kemudian didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Atas permintaan editor pula, saya diminta memberikan opsi judul yang lain, hingga tercetuslah nama baru untuk buku ini; Merajut Benang Cahaya.

Meski sebelumnya telah ikut dalam beberapa proyek antologi yang juga terbit nasional lewat penerbit mayor, namun ternyata tetap berbeda sensasinya memiliki buku solo yang bisa nangkring di toko buku seluruh Indonesia. Selepas menyelesaikan studi di kampus, beberapa teman terpencar-pencar ke berbagai daerah. Itu pula yang terjadi pada teman-teman semasa sekolah dulu. Dan satu hal yang saya syukuri adalah, saya masih bisa tetap menyapa mereka, di manapun mereka berada, lewat buku ini. Beberapa dari mereka dengan kebaikan hatinya bahkan berkenan memotret penampakan Merajut Benang Cahaya di saat nangkring di toko-toko buku di daerah mereka. Saya selalu merasakan kehangatan saat melihat foto-foto itu.

Dan meski saat ini di belakang nama saya telah mengekor dua titel yang berbau dunia kesehatan, nyatanya, saat menjenguk masa lalu, saya selalu dapat mengingat betapa sejak kecil saya selalu menulis satu kata di kolom cita-cita saat menulis biodata; penulis.

Maka saat ternyata mimpi masa kecil itu terwujud, rasanya saya ingin menggandeng tangan seorang bocah yang dulu selalu menyisihkan uang jajannya untuk membeli kertas dan pensil, untuk menulis cerita-cerita imajinatifnya sendiri. Bocah itu selalu mengagumi toko buku dan jejeran buku-buku yang selalu terlihat keren di matanya. Bocah perempuan itu adalah Diena Rifa’ah, bertahun-tahun yang lalu, yang kini dapat melihat cita-citanya menjadi nyata. Mimpi yang terwujud itu berbentuk kumpulan lembaran kertas berisi tulisan-tulisannya yang sederhana, dalam warna biru yang selalu ia cinta, dan di bagian depannya tertulis dengan indah; Merajut Benang Cahaya.